Selasa, 31 Maret 2015

Kelammu

Hello, selamat malam. Hahaha. Aneh yah, ketika sebagian orang telah terlelap dalam mimpinya, aku malah  berkeliaran di dunia maya untuk bercerita. Mengapa? Aku tiba-tiba mengingatmu, kak. Maaf, jika aku tak menggunakan kata rindu. Karena, sungguh, aku tak sepatutnya merindukanmu. Ya, aku mengingatmu, kak. Aku masih dibayangi kenangan kita. Kau ingat ketika kau datang padaku [dengan tiba-tiba], menculikku dari teman-temanku, dan mengajakku berbincang tanpa ada topik yang jelas? Hehehe. [Aku hanya ingat]  kita membahas tentang kelam dan senja, kak. Kau ingat ketika aku mengeluh, aku takut pada kelammu? Kau ingat ketika aku bercerita, aku tak suka dengan kelammu? Kau ingat ketika kau menanyaiku alasan tak suka kelam? “Kau suka senja, padahal senja selalu membawamu ke kegelapan, dek. Keindahannya yang sementara, sukses membuatku cemburu. Kau takut pada kelam, padahal setelah senja ada kelam, dek. Kau ini aneh!” Hehehe. Kalimat yang sempat membuatku berpikir inilah yang selalu mengingatkanku padamu, kak.
Sudah pukul 11.55 wita, kak. Tapi, mata dan otakku masih tak bisa sejalan. Jika masih ada kita, mungkin kau akan memarahiku habis-habisan sekarang. “Aduh, sudah larut, dek. Ayok tidur. Nanti terlambat bangun. Jangan bangun tengah hari lagi! Anak gadis tidak boleh malas-malasan”.  Andai kau tahu kak. Aku memang sudah berada di tempat tidurku tercinta, ketika tiba-tiba lampu padam dan bayanganmu datang. Akupun tak bisa memaksa mata dan otakku untuk bekerja sejalan. Mungkin, impuls yang diterimanya tidak tiba pada syaraf yang tepat sehingga tak tiba di lobus opticusku. Atau, [mungkin] karena jawaban mengunjungiku di seperdua malam ini. Sehingga aku tahu mengapa aku takut pada kelammu. Aku tak bisa tidur ketika semuanya gelap, kak. Bukankah ketika memejamkan mata, semua juga kelam? Ya. Pertanyaan yang bagus, kak. Aku pun menanyakan itu pada takutku. Dan dia menjawab, dia tak suka melihat kelammu berulang kali. Dia tak suka ketika membuka mata, dia melihat kelam lagi. Sama, ketika aku tak suka melihatmu berulang kali. Dia sama sekali tak suka, kak.
Kak, aku tahu kau mungkin tidak membaca tulisan ini karena mengingat kesibukanmu dengan kita-mu itu. Tapi, tak apa. Aku bangga telah menulis keluh kesahku di lembaran ini setelah bersujud pada Sang Pendengar. Aku juga bangga telah mengenal kata kita denganmu. Bukan bangga karena aku telah mengecewakan Sang Pendengar-ku dengan membuat-Nya cemburu dengan mencintaimu, tapi aku bangga karena ada banyak pelajaran berharga yang kau ajarkan padaku. Bukankah kau menyuruhku untuk mengenangku sebagai pelajaran dan pengalaman yang berbeda? Ya. Aku masih mengenangmu kak. Entah kau sadar atau tidak, tapi, kau guru [kelam] yang baik, kak. Terima kasih, terima kasih untuk semuanya. Syukron. Selamat tidur. Sampaikan salamku pada kelammu. Hehehe.

(Sri Muliana Nengsih, Bulukumba, 24 Juni 2014)