Sabtu, 19 April 2014

MUTIARA HATI SENTUH NURANI bagian 4: Saudariku Kuingin Meraih Surga Bersamamu



Saudariku Kuingin Meraih Surga Bersamamu

Saudari-saudariku fillah..

Izinkan saya bercerita tentang sedikit pengalaman pribadi saya.

Tulisan ini bermula ketika kemarin pagi. Seorang sahabat lamaku bersilahturahmi ke rumah. Aku melihat sahabat lamaku yang dulu istiqamah dalam memakai jilbab, kini melepasnya tanpa alasan yang jelas. Ketika kutanya kenapa, ia menjawab dengan begitu simple, “sudah bosan!” Astagfirullah aladzim, sedih, sedih, dan menangis hati ini mendengarnya.


Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah menganggap bahwa seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, semakin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.


Jujur, proses memakai jilbab itu sendiri bagiku merupakan pergulatan batin yang dahsyat sebelum aku benar-benar memutuskan untuk memakainya dengan cara yang benar-benar syar’i, bukan hanya sekedar jilbab sebagai aksesoris dan penutup kepala. Awalnya aku memakai jilbab kelas 1 SMA hingga lulus sekolah, dan ketika itu aku memakai jilbab hanya ketika bersekolah saja. Setelah pulang sekolah, jilbab itupun aku lepas lagi dan mengganti dengan pakaian santai di rumah. Namun, sejak aku berkenalan dengan sahabatku, sebut saja di fulanah, ketika pertama masuk bangku kuliah tingkat satu, dari situlah keinginan mengistiqomahkan memakai jilbab terpatri kuat dalam hati ini, dan aku mulai berazzam: Tidak akan ku lepas hijab ini sampai akhir hayat!!!



Lalu aku baru menyadari, ada sebagaian wanita yang menggunakanjilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar, atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin, karena itulah kain-kain itu tidak menutup aurat mereka secara benar.


Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk dipakai lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup aurat keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri. Ditambah lagi, kesan agamis yang terasa nyaman di hati.


Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih harus ditambah memakai kaos kaki.

Ah, dan di balik jilbab itu ternyata masih ada jilbab lagi. Dan apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?

Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak ramai.


Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari yang cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya?


Maka, hatiku kini pedih. Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”


Ia menjawab, “Tak sempat kupakai”. Jawaban yang datar dan santai, sama sekali tidak nampak penyesalan dan dosa di wajahnya. Yaa Allah, jaga hamba-Mu ini dari sikap lalai dan mendzalimi diri sendiri.


Ah … Waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu.

Ah … mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.

Tapi hari ini, kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya sama sekali. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika seseorang yang menggunakan jilbab  melepas jilbabnya. Maka habislah sudah, karena perenungan dan pergulatan hati ketika itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.
 

(Ukhti Fausiah Handayani Basri, dalam bukunya: Mutiara Hati Sentuh Nurani)