Saudariku Kuingin Meraih Surga Bersamamu
Saudari-saudariku fillah..
Izinkan saya bercerita tentang sedikit pengalaman pribadi
saya.
Tulisan ini bermula ketika kemarin pagi. Seorang sahabat
lamaku bersilahturahmi ke rumah. Aku melihat sahabat lamaku yang dulu istiqamah
dalam memakai jilbab, kini melepasnya tanpa alasan yang jelas. Ketika kutanya
kenapa, ia menjawab dengan begitu simple, “sudah bosan!” Astagfirullah aladzim,
sedih, sedih, dan menangis hati ini mendengarnya.
Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini,
bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah menganggap bahwa
seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan
jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan
di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, semakin
bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan
yang kutemui.
Jujur, proses memakai jilbab itu sendiri bagiku merupakan
pergulatan batin yang dahsyat sebelum aku benar-benar memutuskan untuk
memakainya dengan cara yang benar-benar syar’i, bukan hanya sekedar jilbab
sebagai aksesoris dan penutup kepala. Awalnya aku memakai jilbab kelas 1 SMA
hingga lulus sekolah, dan ketika itu aku memakai jilbab hanya ketika bersekolah
saja. Setelah pulang sekolah, jilbab itupun aku lepas lagi dan mengganti dengan
pakaian santai di rumah. Namun, sejak aku berkenalan dengan sahabatku, sebut
saja di fulanah, ketika pertama masuk bangku kuliah tingkat satu, dari situlah keinginan
mengistiqomahkan memakai jilbab terpatri kuat dalam hati ini, dan aku mulai
berazzam: Tidak akan ku lepas hijab ini sampai akhir hayat!!!
Lalu aku baru menyadari, ada sebagaian wanita yang
menggunakanjilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua,
tempat belajar, atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu,
maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin, karena itulah
kain-kain itu tidak menutup aurat mereka secara benar.
Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu,
jilbab terasa pas untuk dipakai lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan
agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya
menutup aurat keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu
sendiri. Ditambah lagi, kesan agamis yang terasa nyaman di hati.
Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa
orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan
seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus
memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih
harus ditambah memakai kaos kaki.
Ah, dan di balik jilbab itu ternyata masih ada jilbab
lagi. Dan apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?
Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab
semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati
untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala
pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah
dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan
tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak ramai.
Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak
adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah
usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk
bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari yang cantik lainnya. Panas
dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan
tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari
seorang insan wanita. Bukankah Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wassalam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim
merupakan peluruh bagi dosa-dosanya?
Maka, hatiku kini pedih. Ketika kemarin melihat saudariku
yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya.
Sempat kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”
Ia menjawab, “Tak sempat kupakai”. Jawaban yang datar dan
santai, sama sekali tidak nampak penyesalan dan dosa di wajahnya. Yaa Allah,
jaga hamba-Mu ini dari sikap lalai dan mendzalimi diri sendiri.
Ah … Waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana
orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam
mendengar jawaban itu.
Ah … mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak
sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.
Tapi hari ini, kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya
sama sekali. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai
jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak
rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang
sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika
seseorang yang menggunakan jilbab
melepas jilbabnya. Maka habislah sudah, karena perenungan dan pergulatan
hati ketika itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah
mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak
mau diingat. Hanya karena Allah Subhanahu
Wata’ala lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada
bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.
(Ukhti Fausiah Handayani Basri, dalam
bukunya: Mutiara Hati Sentuh Nurani)